Friday 3 November 2006

Dari Bolivia, Kita Belajar Keberanian

Tak ada yang diberikan kapitalisme kepada rakyat Bolivia, kecuali
kemiskinan dan penindasan

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=270217&kat_id=4
Rabu, 01 Nopember 2006

Dari Bolivia, Kita Belajar Keberanian



Para pemimpin dunia ketiga selayaknya belajar soal komitmen dan
keberanian dari Presiden Bolivia, Evo Morales. Datang ke pentas
pemilihan presiden dengan janji menasionalisasi perusahaan-perusahaan
asing yang menguasai ladang-ladang minyak dan gas Bolivia, Morales
benar-benar memegang kata-kata yang pernah meluncur dari lidahnya.
Meski sudah seterang siang, siapapun pengangkat isu nasionalisasi
tentu akan berhadapan dengan negara-negara barat dan kekuatan
kapitalisme global, Morales bergeming pada komitmennya.

Lihatlah, manakala para politisi tipikal negara dunia ketiga
menganggap kemenangan merebut kursi sebagai akhir perjuangan, Morales
justru menyatakan baru saja memulai langkah. Dengarkan apa yang
disuarakannya saat pelantikan dirinya sebagai presiden, 22 Januari
tahun ini. "Telah sepatutnya kita memulai era baru. Sebuah era untuk
menemukan keadilan sosial. Waktunya menemukan kesetaraan, juga
kemerdekaan bagi warga kita," kata Morales, ketika itu.

Dan era baru yang dijanjikan Morales itu menjemput rakyat Bolivia
hanya sembilan bulan kemudian. Ahad (29/10) lalu,
perusahaan-perusahaan asing yang selama ini telah mengangkangi
hasil-hasil migas Bolivia, menandatangani program nasionalisasi itu.

Tentu saja semua itu bukan tanpa sikap tegas pemerintah Bolivia. Bila
tidak, mana mungkin perusahaan-perusahaan asing yang telah bercokol
dan mengeruk kekayaan alam Bolivia sejak era 1980-an itu mau begitu
saja menyerahkan dana minyak yang melimpah.

Semua itu dimulai Morales dengan sebuah langkah kecil, namun yakin.
Juan Evo Morales Aima, nama lengkapnya, memulai perjuangan dari
Cocachamba. Kota itu memang merupakan pusat perlawanan para
cocaleros-warga mayoritas Bolivia yang merupakan penduduk asli suku
Indian--, termasuk Morales, menentang kebijakan privatisasi air yang
dibentuk rejim neoliberal negeri itu.

Cocaleros yang umumnya para petani coca itu memang merupakan aktor
utama perlawanan terhadap kebijakan yang didiktekan Bank Dunia dan IMF
sejak 1980-an tersebut. Kebijakan,--yang alih-alih membuat 5 juta
warga Bolivia hidup makmur di tengah kelimpahruahan hasil alam, itu
justru mendorong warga Bolivia menjadi masyarakat termiskin di Amerika
Latin, bahkan dunia. Menurut laporan Bank Dunia pada 2004, 74 persen
masyarakat adat Bolivia hidup di bawah garis kemiskinan.

Dari kota yang kemudian menjadi ikon perlawanan terhadap kalangan
neoliberal itulah, Morales,--lebih sering dipanggil Evo oleh
pendukungnya-memulai langkah menuju kursi presiden. Isu yang diusung
lelaki kelahiran Aymara, 26 Oktober 1959 itu tegas: nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing yang telah menyedot kekayaan alam Bolivia,
namun hanya membuat segelintir elit saja yang mengecap hasilnya.

Dengan Partai Gerakan Menuju Sosialisme (Movimiento Al Socialismo/MAS)
sebagai tunggangan, Morales dengan terbuka mengutuk
kejahatan-kejahatan yang dilakukan berbagai perusahaan multinasional.
Dikritiknya praktik-praktik neo-liberalisme dan globalisasi tendensius
yang dilakukan IMF, Bank Dunia, serta WTO. Tanpa lelah Morales
berkampanye akan pentingnya Bolivia mengontrol pengelolaan minyak dan
gas bumi, cadangan kedua terbesar yang ada di Amerika Latin itu.

Perjuangan dan komitmen teguh itu pun berbuah. Setelah sempat gagal
pada pemilu sebelumnya, 22 Desember 2005 lalu Morales ditahbiskan
sebagai pemenang pemilu Bolivia. Jumlah suara yang diperolehnya
mencapai 53,899 persen, melampaui suara yang diperoleh Jorge Tuto
Quiroga, mantan wakil presiden di bawah diktator Hugo B�nzer, serta
Samuel Doria Medina, calon lain yang merupakan salah satu orang
terkaya di negeri itu.

Berbeda dengan politisi kita, bukan semata kursi presiden yang diincar
Morales. Hanya lima bulan setelah terpilih, pada peringatan Hari
Buruh, 1 Mei lalu, sang presiden kembali menggebrak. Dalam pidato
peringatan itu, Morales mengingatkan perusahaan minyak asing yang
beroperasi di Bolivia untuk tunduk pada ketentuan proporsi pemilikan
yang akan ditetapkan pemerintah Bolivia. Selain itu, semua penjualan
produk mereka juga diatur pemerintah Bolivia. "Jika menolak, mereka
kita persilakan keluar dari negeri ini," kata Morales, saat itu. "Saat
ini, penjarahan sumber alam kita oleh perusahaan asing telah
berakhir."

Tanpa jeda, saat itu juga Morales memberikan tenggat waktu enam bulan
kepada perusahaan-perusahaan asing tersebut. Tetapi, sehari setelah
itu militer dan pejabat energi Bolivia mulai mengambil-alih ladang
minyak yang dikuasai perusahaan-perusahaan itu.

"Misi kami adalah menjamin berjalannya operasi secara normal," kata
Komandan satuan unit pengawalan di satu pengilangan yang operasikan
Petrobras, Kapten Jorge Lenz, saat itu. Di belakang Lenz, berdiri
seratusan tentara dengan senjata mesin dan perlengkapan antihuru-hara.
Tak ada kerusuhan terjadi saat berbagai pengambilalihan itu dilakukan.

Hanya dengan gertakan dan semua beres dengan sendirinya? Tentu tidak.
Morales harus berkeliling ke banyak negara untuk meyakinkan banyak
pihak bahwa programnya bukan tanpa alasan.

Di Den Haag, Belanda, Januari lalu Morales bertemu dengan Menlu
Belanda dan menjelaskan programnya. Di Wina, seolah mengancam,
Komisaris hubungan luar negeri Uni Eropa, Benita Ferrero-Waldner
menyatakan, pihaknya mengakui bahwa seperti negara lain, Bolivia
berhak untuk memutuskan sendiri apa yang akan dikerjakan dengan
sumberdaya alamnya. Tetapi, menurut Ferrero Waldner, Bolivia harus
berhati-hati,"Agar tidak melukai diri sendiri,". Tampaknya,
Ferrero-Waldner memang menyuarakan kepentingan konglomerat Prancis
Total, serta raksasa perusahaan minyak Spanyol, Repsol.

Semua itu tak membuat langkah Morales gamang. Hasilnya kita tahu.
Beberapa hari lalu, terpaksa atau tidak, yang jelas semua perusahaan
minyak asing yang beroperasi di Bolivia telah meneken kesepakatan
dengan pemerintah.

Petrobras, Repsol YPF, British Gas Bolivia Corporation, Andina, Chaco,
Matpetrol dan Pluspetrol, pada Ahad (29/10) lalu kontan meneken
kesepakatan. Dua perusahaan lainnya, Total SA dan Vintage Petroleum,
telah menandatangani kontrak sehari sebelumnya. Dengan nasionalisasi
itu, Bolivia akan menikmati 82 persen penerimaan gas dan minyak bumi
hasil eksploitasi perusahaan-perusahaan asing tersebut. Angka itu naik
pesat dari sekitar 50-an persen sebelumnya.

Kini, keberhasilan Bolivia itu sepatutnya menginspirasi para pemimpin
negara-negara dunia ketiga lain. Juga Indonesia. Belajarlah berani dan
teguh memegang prinsip. Belajarlah berpikir untuk kesejahteraan
rakyat, bukan semata untuk keuntungan kantung pribadi, sebagaimana
yang kasat mata terlihat saat ini. Belajarlah semua itu dari Bolivia.

Saat diwawancarai media terkemuka Jerman, Der Spiegel, beberapa waktu
lalu, Morales ditanya apakah sikapnya yang seakan memusuhi kekuatan
ekonomi global itu tidak membuatnya khawatir akan masa depan rakyat
Bolivia. Saat itu Morales menjawab tenang, namun dalam. Sedalam
pengalamannya melawan tirani sistem yang mengungkung kaum Indian,
warga mayoritas di Bolivia.

Tak ada yang diberikan kapitalisme kepada rakyat Bolivia, kecuali
kemiskinan dan penindasan," katanya. Wartawan Spiegel mengaku,
beberapa saat ia kehilangan pertanyaan. (dsy/afp/ap/bbc/der spiegel )

No comments:

Post a Comment