Friday 17 November 2006

Ya Allah, Kapan Aku Mengangkat Koperku Sendiri...?

-------- Original Message --------
Subject: Ya Allah, Kapan Aku Mengangkat Koperku Sendiri...?
Date: Thu, 9 Nov 2006 08:58:32 +0700
From: Care Community


Ya Allah, Kapan Aku Mengangkat Koperku Sendiri...?

Saat itu adalah bulan Muharram tahun 1424 H. Seorang
pria bernama Mamat yang bekerja di Bandara
Soekarno-Hatta sedang sibuk mengangkat koper-koper
penumpang. Koper bukan sembarang koper. Semua koper
yang baru saja dibongkar dari pesawat Saudia Airlines
itu memiliki kesamaan; berbentuk besar, berwarna biru
tua dan bertuliskan nama pemilik, nomer kloter dan
asal kota. Koper-koper tersebut adalah milik jemaah
haji yang baru saja selesai menunaikan ibadah haji di
Tanah Suci pada tahun itu.

Setiap kali mengangkat satu koper, Mamat selalu
membaca basmalah dan shalawat kepada Rasulullah Saw.
Sudah berpuluh koper yang ia angkat, hingga rasa itu
muncul di dadanya. Pada kali selanjutnya, tatkala
tangannya menggamit pegangan koper, ia sempat membaca
doa kecil kepada Allah Sang Penguasa alam di dalam
hatinya, "Ya Allah, kapan saya mengangkat koperku
sendiri seperti ini...?!" Sebenarnya yang ia maksud
adalah ia begitu berharap dapat berangkat haji ke
Baitullah.

Rupanya Allah mendengar jeritan hati Mamat. Hanya
selang 4 bulan saja, Subhanallah, namanya keluar
sebagai salah seorang dari 17 orang pegawai yang
mendapatkan jatah naik haji tahun itu atas biaya
kantor. Mamat pun amat bersyukur kepada Allah Ta'ala
karenanya.

Namun kebahagiaan ini tidak serta-merta membuat Mamat
puas hati. Ia tahu bahwa berita ini boleh jadi akan
membuat Iis, istrinya bersedih. Sebab hanya dia saja
yang dapat berangkat naik haji, padahal mereka berdua
selalu berdoa kepada Allah Swt agar dapat berangkat
naik haji bersama-sama.
Maka tatkala menyampaikan berita ini pun, Mamat amat
hati-hati dalam mengemasnya. "Semoga tidak ada bahasa
yang terpeleset dan melukai hati", itulah harapan
Mamat.

"Is.... Akang minta maaf ya sama kamu..." Mamat
mencoba membuka percakapan dengan meminta maaf
terlebih dahulu. "Emangnya ada apa, Kang?" sang istri
bertanya. "Akang ingin beritahukan sesuatu ke kamu,
tapi kamu jangan marah ya... apalagi sedih...?" sambut
Mamat. Kalimat itu membuat Iis menjadi gelisah. Ia
coba tenangkan hati untuk mendengar berita gak enak
ini. Mamat pun kemudian menyambung kalimatnya dengan
nada hati-hati, "Is... Akang hari ini mendapat
kejutan. Akang terpilih menjadi salah satu karyawan
yang akan diberangkatkan haji oleh kantor..."
"Alhamdulillah....!!!" Iis berteriak kegirangan. Ia
langsung melompat ke arah Mamat suaminya dan
memeluknya dengan erat. Dengan bersemangat Iis
berkata, "Kirain berita sedih...! Berita bagus kayak
begini kok dibawa sedih kayak begitu Kang? Iis ikut
senang ngedengernya!" "Ya... emang sebenarnya ini
adalah berita gembira, cuma yang bikin Akang takut
membuat kamu sedih adalah karena Akang gak punya duit
untuk ngeberangkatin kamu, Is! Akang khan cuma pegawai
kecil seperti kamu tahu... Kalau saja, duit itu ada,
tentu Akang akan ajak kamu juga untuk berhaji ke rumah
Allah!" Iis lalu mengerti kegundahan yang berkecamuk
dalam hati suaminya. Sambil tersenyum, Iis berujar,
"Udah kang gak usah dipikirin, Iis rela melepas Akang
naik haji. Tapi jangan lupa doain Iis ya biar cepat
nyusul!" Akhirnya, apa yang dikhawatirkan Mamat
tentang perasaan istrinya pun tidak berlaku. Sekali
lagi Mamat bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla
karenanya.

Hari itu adalah jadwal Mamat untuk berangkat haji.
Seperti kebiasaan orang kampungnya, maka kepergian
Mamat diantar dengan adzan dan iqamat. Pembacaan
shalawat dustur yang dikumandangkan oleh seorang
ustadz pun membuat semua orang haru meneteskan air
mata. Saat itulah, Mamat berpamitan dengan menyalami
serta merangkul orang-orang yang ia kenal seraya
meminta restu. Semua anggota keluarga, kerabat,
tetangga, sanak famili menghadiri acara itu. Semuanya
sudah bersalaman dan berangkulan dengan Mamat. Hingga
saat Mamat hendak naik ke atas kendaraan, saat itulah
tiba giliran Iis mencium punggung telapak tangan
suaminya dan suasana haru pun tercipta. Air mata
suami-istri itu pun jatuh membasahi bumi. Saat mereka
berdua berpelukan, Iis berucap, "Kang Mamat....,
jangan lupa untuk doain Iis ya di Baitullah...
panggil-panggil nama Iis di sana. Insya Allah, Iis dan
anak-anak ikhlas ngelepas Akang. Semoga kita semua,
dengan doa kang Mamat, bisa nyusul berangkat haji
bareng-bareng...!" Tak kuasa Mamat menahan tangis.
Pelukan itu makin ia pererat. Ia hanya mampu
mengucapkan kata 'Amien'. Dalam hati, Mamat berucap
agar Allah Swt juga berkenan mengajak istri dan
anak-anaknya untuk berhaji seperti dia.
Di dalam kendaraan Mamat masih sempat berdoa kepada
Allah Swt untuk keluarga yang ia tinggalkan:
ALLAHUMMA ANTAS SHAHIBU FIS SAFAR, WAL KHALIFATU FIL
AHLI. HR. Muslim
"Ya Allah, Engkau adalah pendampingku dalam
perjalanan. Engkau juga yang menggantikan aku untuk
menjaga keluarga yang ditinggalkan... Amien" HR.
Muslim.

Usai membaca doa, ia pusatkan konsentrasinya untuk
khusyuk beribadah kepada Allah Swt.
42 hari Mamat menuntaskan semua ritual ibadah haji di
kota suci Mekkah Al Mukarramah dan Madinah Al
Munawwarah. Semuanya dijalani dengan begitu khusyuk
dan nikmat. Sesampainya di tanah air pun, ia langsung
mendapatkan sebuah titel baru dari masyarakat. Kini ia
dikenal dengan panggilan Haji Mamat di kampungnya.
Lepas 6 bulan setelah kepulangannya dari tanah suci.
Iis istrinya yang dulu sempat berucap ikhlas melepas
kepergian suaminya ke tanah suci, pagi itu ia
kelepasan berujar bahwa dirinya sebenarnya begitu
ingin juga berangkat ke tanah suci untuk berhaji.
Kalimat itu dituturkan dengan nada sedih yang
mengguncang hati Mamat. Kegundahan itu memang pernah
diduga sebelumnya oleh Mamat. Namun baru kali ini
kegundahan itu membuncah, dan tercetus lewat penuturan
akan kerinduan untuk datang ke rumah Allah Swt dalam
ritual haji. Muslim atau muslimah mana yang tidak mau
untuk berhaji?

Maka demi menghibur hati Iis, Mamat pun berujar
kepadanya, "Is... kamu memang berhak untuk berangkat
haji seperti orang lain, tapi Akang belum cukup punya
uang. Sekarang kita hanya mampu untuk berdoa kepada
Allah Swt.... Dia Maha Kuasa.... Jangankan minta
haji.... minta yang lebih dari itu Dia pun amat kuasa.
Nanti malam kita bangun ya untuk shalat tahajud...!
kata ustadz, doa pada sepertiga malam terakhir amat
dikabul. Nanti kita doa sama-sama untuk minta naik
haji. Insya Allah akan dikabulkan... percaya deh!"
Demikian ajakan Mamat kepada istrinya untuk melakukan
shalat tahajud dan berdoa bersama nanti malam. Dan
ajakan itu, disambut dengan anggukan kepala oleh Iis
tanda setuju.

Rupanya Mamat pulang dari kerja tidak seperti biasa.
Hari itu ia tiba di rumah lewat dari pukul 20.00 WIB.
Rupanya ada pekerjaan ekstra yang ia lakukan. Biasanya
Mamat sudah tiba di rumah pukul 5 sore. Mungkin, ada
pesawat lain yang tiba di luar jadwal, sehingga
beberapa kuli panggul seperti Mamat disiagakan untuk
bongkar muatan.

Mamat pulang dengan badan yang letih. Usai menjalani
shalat Isya, ia langsung rebahan di atas kasur dan
langsung tertidur. Rasa letih membuatnya lupa untuk
makan malam terlebih dahulu, atau menyapa keluarganya
yang masih menunggu kedatangannya. Iis dapat memaklumi
hal itu. Tidak beberapa lama kemudian, Iis pun
menyusul tidur di atas ranjang bersama suaminya.
Seperti apa yang telah mereka janjikan, Iis terjaga
dan bangkit dari tidur pada pukul 3 pagi. Kemudian ia
tepuk-tepuk kaki suaminya. Karena terlalu letih, Mamat
tak sanggup untuk bangkit dan hanya berujar,
"Ah...ah...!" tanda bahwa ia tak sanggup membuka mata.
Iis langsung bangkit menuju kamar mandi. Usai
berwudhu, ia kembali lagi ke kamar untuk bertahajud.
Sajadah telah dibentangkan dan mukena pun telah ia
kenakan. Sebelum melakukan shalat, untuk kedua kalinya
Iis menepuk kaki Mamat agar ia bangun dan melakukan
shalat tahajud bersama-sama. Sekali lagi, Mamat hanya
mengeluarkan kata, "Ahh...ahh...!" Ia terlalu lelah
untuk bangkit dan menyusul istrinya untuk bertahajud.
Iis pun memaklumi. Raut wajah Mamat yang letih sudah
mengabarkan bahwa ia terlalu lelah bekerja hari itu.
Iis pun melapalkan takbiratul ihram tanda ia memulai
shalat tahajud.

Begitu khusyuk shalat yang Iis dirikan, dan di atas
pembaringan Mamat pun menyaksikan sosok istrinya yang
bermukena sedang menjalankan shalat. Namun ia dalam
kondisi antara tidur dan terjaga. Kata orang, ini
adalah tidur ayam. Tidur tak mau, bangun tak kuasa.
Setiap gerakan shalat yang Iis lakukan selalu ia
iringi dengan tetesan air mata. Sungguh..., seolah
Allah Swt hadir menyambut kedatangan Iis dalam
keheningan malam itu. Hingga kedekatan dengan Sang
Maha Pencipta pun dapat dirasakan oleh Iis yang
menjalankan shalat tahajud.

Tak terasa waktu bergulir dengan cepat. Sudah satu jam
lebih Iis melakukan shalat dan dzikir kepada Allah
Swt. Waktu telah menunjukkan pukul 4 lebih. Dan ia
berkeinginan untuk bermunajat kepada Allah Swt dalam
lantunan dan rangkaian doa yang ia bacakan.
"Allahumma, ya Allah... Izinkan hamba-Mu ini untuk
dapat berhaji ke rumah-Mu. Mudahkan jalan hamba....
Lapangkanlah rezeki kami. Engkau Yang Maha Kuasa atas
segalanya.... Berikan perkenanmu agar aku sanggup
datang ke rumah-Mu untuk beribadah dan
memakmurkannya... Dengarkan doaku dan Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu...!"

Dalam kesyahduan doa yang dibaca oleh Iis kepada
Tuhannya, rupanya Mamat pun sempat mengamini di dalam
hati tanpa sepatah kata pun terucap. Sungguh, malam
itu telah terbangun sebuah jalinan suci antara seorang
hamba dengan Allah Swt dalam rangkaian doa yang penuh
hikmat dan cita.

Adzan Shubuh mulai terdengar di beberapa masjid dan
mushalla. Untuk terakhir kali, Iis membangunkan Mamat
suaminya sambil berujar, "Pak Haji... ayo bangun! Malu
sama tetangga. Masa sudah haji enggak shalat Shubuh
berjamaah? Ayo bangun, Kang....!"
Mamat pun bangkit. Berat sekali rasanya ia mengangkat
badan. Setelah berwudhu, ia pun mengenakan pakaian
yang bersih lalu berangkat menuju mushalla untuk
melaksanakan shalat Shubuh.

Mamat mengucapkan salam saat masuk kembali ke rumah.
Iis dan anak-anak pun sudah bangun semua. Inilah rumah
yang berkah. Semua sudah terjaga dan bangkit untuk
menyongsong hari yang indah. Mamat kemudian meminta
Iis membuatkan secangkir kopi untuknya. Kemudian
dengan tasbih di tangan, ia baru saja hendak
menempelkan pantatnya ke kursi sofa di ruangan depan.
Namun tiba-tiba hasratnya untuk duduk, dihentikan oleh
dering telfon yang berbunyi keras di pagi hari. Mamat
pun mengangkat gagang telfon.

"Assalamu'alaikum..... ini dari mana dan mau bicara
dengan siapa?" Mamat membuka pembicaraan. "Mat... ini
teh Sulis, Iis ada nggak?" demikian suara di seberang
menjawab. Mamat pun tahu bahwa orang yang menelfon ini
rupanya adalah kakak iparnya sendiri. Tanpa berpikir
panjang, Mamat pun memanggil Iis yang saat itu sedang
hendak membuatkan kopi untuknya.

Mamat kembali duduk di atas kursi sofa. Sementara Iis
duduk di lantai untuk menerima telfon. Baru saja Iis
mengucapkan salam kepada teh Sulis, namun setelah itu
tidak ada satu patah kata pun yang meluncur dari mulut
Iis. Yang ada adalah deraian air mata dan kata, 'iya
Teh!' berulang-ulang diucapkan.

Pembicaraan telfon di pagi hari itu sudah lebih dari
10 menit berlangsung. Melihat istrinya terus menangis,
Mamat menduga bahwa ada berita buruk yang terjadi
terhadap keluarga hingga pagi-pagi begini sudah
menelfon dan membuat istrinya menangis. Mamat mengira
bahwa ada salah seorang familinya berpulang kepangkuan
Ilahi.

Gagang telfon itu kemudian diletakkan Iis. Ia masih
sesenggukan menahan tangis. Iis mencoba mengangkat
wajah dan menghadap ke arah suaminya. Saat itu Mamat
mencoba menyelak dengan pertanyaan, "Siapa yang
meninggal, Is..?" Masih sesenggukan Iis menjawab, "Gak
ada yang meninggal, Kang!" "Lalu kenapa kamu menangis
kayak begitu, emangnya berita sedih apa yang
diceritain teh Sulis?" Mamat masih mengejar dengan
pertanyaan yang lebih menukik.

Saat itulah Iis menceritakan hal sebenarnya,
"Kang...., barusan teh Sulis bilang bahwa ia berniat
berangkat haji tahun ini. Kebetulan kang Andi suaminya
lagi banyak kerjaan. Kang Andi gak bisa nemenin....
Teh Sulis tadi nanya saya, kamu khan belum berhaji,
mau gak saya ajak? Teh Sulis mau bayarin biaya haji
saya.... tapi saya disuruh minta izin dulu ke Akang.
Iis gak nyangka, Kang.... begitu cepat Allah menjawab
doa yang baru saja Iis sampaikan dalam tahajud.
Sekarang, pilihan mah ada di Akang. Jika Akang
izinkan, saya siap. Kalau Akang enggak izinin saya
juga ikhlas...!" Iis berhenti sejenak mengatur
nafasnya yang masih sesenggukan. Air mata itu masih
menetes tanda haru dan syukur atas doa yang Allah Swt
kabulkan. Sementara Mamat masih terdiam, terperangah
dan takjub atas kemurahan Tuhan.

Mamat langsung merangkul istrinya ke dalam dekapan.
Mamat berujar, "Kamu boleh berangkat haji untuk
beribadah dan nemenin teh Sulis. Akang ikhlas
mengizinkan kamu dan merawat anak-anak di rumah.
Silahkan kamu berhaji untuk melengkapi agama kamu,
Is!"

Keduanya masih berpelukan erat tanda haru dan syukur
atas nikmat Allah Swt yang tiada ternilai. Dalam
keharuan tersebut ternyata masih tersisa sebuah
penyesalan dalam dada Mamat yang kemudian terbersit di
hatinya, "Coba, saya ikut bangun tahajud dan berdoa
kepada Allah untuk minta haji. Mungkin bisa berangkat
bareng-bareng juga kali ya....?!"
Itulah kisah sepasang suami-istri hamba Allah Swt yang
dimudahkan untuk berhaji ke Baitullah. Semoga Anda dan
saya dapat menerima anugerah serupa. Amien!

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. 2:185)

Bobby Herwibowo - 08158300456

No comments:

Post a Comment